Adalah sifat 'kedermawanan' Allah. Tiada yang sanggup berbuat 'derma' seperti sifat Allah ini. Setiap pemberian yang dilakukan manusia biasanya berujung pada satu kepentingan, yakni mendapat imbalan. Imbalan di sini tidak hanya berupa materi, tapi juga yang bersifat non materi. Contohnya, pujian, jalinan persahabatan, terhindar dari celaan, bahkan harapan mendapatkan surga. Apa yang dilakukan manusia tadi lebih tepat jika disebut 'transaksi'. Adalah nama Allah dalam Asma'ul Husna yang bermakna Allah Yang Maha Pemberi. Al-Wahhaab terambil dari akar kata wahaba yang artinya "memberi" dan "memberikan sesuatu tanpa imbalan. Dalam Alquran, kata ini ditemukan dalam tiga ayat, yaitu QS Ali Imran [3] ayat 8 dan QS Shad [38] ayat 9 dan 35.
Satu-satunya sifat yang bisa mendekati sifat Al-Wahhaab adalah jika manusia bisa mengorbankan semua miliknya demi Allah semata.
Allah 'Azza wa Jalla,Maha Mengetahui kebutuhan setiap makhluk. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Ia memberikan segala apa yang dibutuhkan makhluk tanpa diminta. Ia tidak berharap imbalan, balasan, atau pun pujian. Mahasuci Allah dari ketergantungan apapun terhadap makhluk.
Al-Wahhaab
Lafadz Al-Wahhaab menekankan tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan semua makhluk, kecuali Allah Azza wa Jalla.Dia memberi tanpa mengharap imbalan apapun. Dia akan terus memberi semua yang dibutuhkan makhluk, walau makhluk tersebut ingkar atau sudah "merasa cukup". Allah akan terus memberi, karena Dia Mahatahu bahwa makhluk membutuhkan-Nya.
Dari makna ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tiada satu pun makhluk yang berhak menyandang predikat wahhaab jika ia mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya. Manusia itu makhluk lemah, tidak sempurna, dan serba kekurangan. Mustahil ia mampu memberi secara berkesinambungan.
Al-Wahhaab
Satu-satunya sifat yang bisa mendekati sifat wahhaab adalah jika manusia bisa mengorbankan semua miliknya demi Allah semata. Bukan karena ingin meraih kenikmatan surga atau terhindar dari neraka. Sifat ini pun lebih tepat disebut murah hati. Satu tingkat di bawahnya adalah mereka yang memberikan dengan sukarela demi tercapainya kenikmatan surga. Tingkat lebih rendah lagi adalah orang yang memberi untuk mendapatkan pujian.
Allah memberikan imbalan kepada orang murah hati berupa keridhaan dan pertemuan dengan-Nya. Inilah kebahagiaan hakiki. Siapa yang beribadah kepada Allah demi mendapat keuntungan surga, sesungguhnya ia telah menjadikan Allah sebagai 'sarana' untuk mendapatkan surga. Bukan menjadikan-Nya sebagai tujuan. Barangkali, jika saja surga dapat dicapai dengan cara lain, tanpa beribadah kepada Allah, bisa jadi dia tidak akan beribadah, karena ia tak akan memperoleh surga dengan ibadah. Tidak salah kita beribadah karena mengharap surga. Namun ada yang lebih tinggi dari itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa motivasi apapun selain mengharap ridha dan kasih sayang Allah. Semoga kita bisa mengamalkannya. Amin
KH Abdullah Gymnastiar )
0 comments:
Post a Comment