Tahun 2005 untuk pertama kalinya aku memasuki rumah ini. Terletak di jalan PK rumah itu berdiri dengan megahnya. Bangunannya kokoh dan disangga dengan tiang-tiang besar yang menunjukkan bahwasanya dia memiliki pondasi yang kuat. Halamannya luas dan ditumbuhi beraneka ragam tanaman yang tertata rapi sehingga menambah keasrian dari bangunan rumah tersebut. Aku menjadi salaah satu penghuni rumah itu. Sungguh merupakan rumah yang selama ini aku impikan.
Rumah itu dihuni lebih dari 50 orang. Cukup banyak memang, namun sekalipun banyak penghuninya, rumah itu tetap saja terjaga ketentraman dan kedamaianya. Antara penghuni yang satu dengan yang lain saling kenal, saling sapa dan saling senyum. Tidak ada percecokan diantara mereka. Hidup rukun dan saling menghormati menjadi bagian dari budaya yang tercipta diantara sesama penghuni. Tolong menolong juga menjadi hal yang biasa dilakukan sesama penghuni rumah. Kita semua berbeda, dengan latar belakang yang tidak sama. Namun kita kita semua berada pada satu atap. Itu yang membuat kita menjadi satu. Bukankah, setiap perbedaan menjadi alunan nada yang terangkai indah menciptakan harmoni.
Setiap hari, para penghuni rumah bekerja sesuai dengan posisinya masing-masing. Tidak ada iri hati. Tidak ada satu penghuni yang merasa bahwa dirinya lebih berharga dibanding penghuni yang lain. Semua memiliki peranan yang penting. Artinya pekerjaan yang satu dengan yang lain saling terkait dan saling membutuhkan. Inilah yang menjadi faktor penting dalam menjaga kekeluargaan para penghuni rumah ini.
Di rumah ini, kita memiliki ibu asuh. Dia yang selama ini menjadi penengah jika diantara sesama penghuni ada perbedaan pendapat. Dia orang yang bijaksana. Tidak akan melakukan pembelaan pada salah satu penghuni rumah. Namun akan mencari solusi untuk kebaikan bersama. Sehingga tidak ada yang merasa dibela dan tidak dibela oleh beliau. Setiap penghuni rumah menaruh hormat kepadanya. Dekat dengan dia seperti seorang teman.
Seperti halnya rumah-rumah yang lain, rumahku ini juga mengalami beberapa kali pergolakan. Ada perberdaan pendapat diantara sesama penghuni rumah. Saling meyakini bahwa pendapatnyalah yang terbaik. Dirinyalah yang bekerja terlalu keras sehingga layak untuk mendapatkan penghargaan yang lebih dibanding penghuni yang lain. Tetapi inilah istimewanya rumahku ini, biarpun ada pergolakan namun persatuan diantara para penghuni tidak pernah luntur. Konflik dianggap sebagai ajang untuk melatih diri berfikir secara bijaksana untuk mencari solusi terbaik tanpa ada perpecahan diantara mereka. Dalam pekerjaan bisa berbeda pendapat namun dalam kehidupan sosial sesama penghuni tetap terjaga. Motto 3S tetap dipelihara, senyum, sapa, salam.
Tiba di awal tahun 2010, ada kabar yang tidak menyenangkan yang didengar oleh penghuni rumah. Rumah yang dikira telah menjadi hak milik ternyata hanya berstatus hak guna bangunan. Itu artinya penghuni rumah tidak dapat selamanya tinggal di rumah itu. Cepat atau lambat mereka harus mencari rumah yang lain. Mendengar kabar itu, para penghuni rumah seakan tidak percaya. Mereka bertanya-tanya satu dengan yang lain,, “Bukankah kita sudah cukup lama menempati rumah ini?” Kemana kita akan pergi?” Aku sudah cukup nyaman berada di rumah ini?’ dan masih banyak lagi pertanyaan yang ada pada benak mereka. Sebagian penghuni rumah beranggapan bahwa kabar itu hanya rumor saja. Sekalipun rumah itu bukan hak milik mereka, namun tidak mungkin secepat itu mereka harus pergi. Itu masih wacana. Sebagian lagi berfikir bahwa rumor itu menjadi semacam peringatan bagi mereka untuk bersiap-siap mencari rumah lain. Biarpun tidak senyaman rumah saat ini, paling tidak ada tempat untuk berteduh bagi mereka.
Tepat hari rabu, Ibu asuh memanggil semua penghuni rumah. Memastikan kepada mereka bahwa rumor tersebut benar adanya. Namun kapan akan selesai masa penggunaan bangunan tersebut, tidak ada kepastian. Ini menyebabkan seluruh penghuni rumah ketakutan dan sedih. Mereka bertanya-tanya kemana akan pergi? Kemana akan berlindung dari hujan dan panas? Ini sungguh kejam. Ini tidak adil. Kiita harus melakukan sesuatu. Dengan berhati-hati ibu asuh berusaha menenangkan para penghuni rumah. “Jangan khawatir, ibu akan mencoba untuk mencarikan rumah sementara untuk kalian sebelum kalian bisa mencari rumah sendiri”. Pernyataan ini sedikit banyak menenangkan hati para penghuni rumah. Setidaknya mereka tidak akan terlantar begitu saja, ada waktu untuk mencari rumah yang lain. Tapi sampai kapan? Tidak ada yang tahu.
Waktu terus berjalan hingga suatu hari, kembali para penghuni dikumpulkan oleh ibu asuh. Dengan suara yang tertahan ibu asuh memberitahukan batas akhir penggunaan rumah tersebut. Sebagian penghuni rumah terkejut dan tidak mampu membendung airmatanya. Mengapa harus berakhir seperti ini? Mengapa secepat ini? Dan sebagian lain, mencoba menguatkan hatinya dan berfikir positif bahwa ini memang waktunya untuk mencari rumah lain yang lebih bagus, yang lebih kokoh dan rumah yang telah memiliki sertifikat hak milik. Sejak itu, sesama penghuni rumah saling menguatkan, memberi semangat dan saling mendukung. Saling berbagi informasi tentang rumah baru. Persaudaraan diantara mereka semakin kuat. Tidak tampak ada perbedaan diantara sesama penghuni. Apabila salah satu penghuni rumah telah mendapatkan rumah baru, maka yang lainnya akan turut senang mendengarnya dan memberi selamat kepada penghuni yang beruntung tersebut. Begitulah seterusnya yang terjadi.
Waktu, sekalipun berjalan pelan namun tetap tidak dapat dihentikan. Akhirnya masa penggunaan bangunan rumah tersebut tiba. Waktunya bagi para penghuni yang masih tertinggal dirumah itu untuk segera beres-beres dan angkat kaki. Airmata yang selama ini dapat ditahan pada akhirnya jatuh juga. Seberapa pun kuatnya berusahan untuk menahannya, airmata tetap menetes. Ada keharuan. Ketika perpisahan sesama penghuni harus terjadi. Tawa, canda dan cerita yang selama ini hadir mewarnai kehidupan mereka harus segera diakhiri. Rumah yang mereka cintai itu harus segera ditinggalkan. Suka atau tidak. Karena pada kenyataannya itu bukan rumah mereka. Rumah itu hanya dititipkan sementara bagi mereka. Berat memang untuk menghadapi kenyataan yang ada. Ada kesal dan amarah ketika akhirnya mereka harus meninggalkan rumah itu. Tapi setiap penghuni rumah telah belajar banyak selama mereka menghuni rumah tersebut. Kenyataan tidak untuk ditangisi tapi untuk dihadapi dengan kepala tegak. Di depan masih banyak rumah-rumah lain yang menunggu kehadiran para penghuni rumah tersebut. Rumah itu tidak berstatus hak guna bangunan namun rumah yang dibangun dengan keringat sendiri, rumah yang berstatus hak milik.
Para penghuni rumah keluar dari bangunan itu dengan senyuman. Tetangga sebelah kanan dan kiri memandang mereka dengan tatapan sedih. Namun para penghuni rumah itu berkata, kami pergi untuk membangun rumah-rumah yang lain. Jangan iringi kami dengan tangisan dan muka sedih, namun iringi kami dengan doa dan senyuman. Kelak kami yang akan mengundang kalian kerumah yang telah menjadi milik kami.
Beberapa bulan kemudian, aku meliuhat rumah itu masih berdiri kokoh dan megah. Rumah yang pernah kutempati dan saat ini telah ditempati orang lain. Rumah yang penuh kenangan indah. Di rumah ini, banyak hal yang terjadi. Disini aku pernah menangis, marah dan kesal. Disini jugalah aku selalu tertawa, bercanda dan bersuka. Mengenal para penghuni rumah yang memiliki karakter ajaib yang membuatku selalu tertawa dikala aku ingin menangis, menghiburku dikala aku sedang bersedih. Aku rindu dengan para penghuni yang lain. Entah dimana mereka saat ini berada, hanya kabar melalui jejaringan sosial yang aku tahu. Namun dimana pun mereka saat ini berada, aku yakin mereka telah berhasil menemukan rumah baru.
Cerita diambil dari karangan teman yang sedang mengungkapkan perasaannya
Thx to Nora Jusnita Girsang
0 comments:
Post a Comment