Wednesday, June 03, 2009

Demi Allah, Aku Mencintaimu !

Dari gesture-nya aku tahu pasti: dia ingin menyampaikan sesuatu. "Adaapa tho? Mbok terus terang saja, jangan ditahan, nanti malah bikin stres lho!" Aku memecah keheningan suasana malam itu. "Tapi Mas jangan marah lho ya!" pinta istriku dengan serius.

"Astaghfirullahal adziim… Belum - belum kok sudah su'udhon sama suami gitu… "

"Aku mau cerita kalau Mas janji nggak marah… " masih serius dia memohon, menambah penasaranku akan apa yang akan dia sampaikan.

"Baiklah, insya Allah aku tidak akan marah."

"Sebenarnya Mas ini sayang sama Dik Rani nggak sih, Mas?" Prolognya mengejutkanku. Dan klasik sekali, tipikal laki laki di negeri ini, aku menjawab dengan:

"Mengapa kau bertanya begitu?"

"Tuh, kan! Mas marah, kan... "

"Tetapi mengapa kau bertanya begitu? Mengapa?!" Egoku sebagai laki laki meninggi.

"Kalau Mas marah gitu aku nggak jadi cerita..." Dengan sedikit menggeser badannya dari tempat ia duduk, dan dengan mimiknya yang seolah tanpa dosa itu, ia seakan hafal bagaimana menaklukkanku.

"Baiklah... Mengapa kau bertanya begitu?" Aku tetap tidak menjawab pertanyaannya.

Entah mengapa, laki laki di negeri kami amat jarang mengungkapkan kata- kata cinta bahkan kepada istrinya sekalipun. Bahkan ketika ditanya dengan pertanyaan segamblang itupun, terasa kelu lidah ini untuk sekedar menjawab, "Aku sayang padamu, Dik..."

Bagi kami, para laki - laki, cinta tidak perlu diungkapkan dengan kata- kata. Cinta adalah memberikan kepada orang orang yang kami cintai apa yang mereka butuhkan. Cinta adalah bekerja keras membanting tulang mencari nafkah untuk diberikan kepada anak, istri dan orang tercinta kami. Cinta itu demikian kuat, demikian dalam, demikian terang memancar dari dalam hati kami hingga kami sangat yakin bahwa rasa cinta itu sanggup menembus hati istri - istri kami meskipun tidak pernah kami ucapkan.

Kuatnya keyakinan itu membuat kami memaksa istri - istri kami memahami hal itu: Jangan pernah kalian tanyakan cinta kami, sebab cinta kami adalah cinta murni, bukan cinta basa basi dengan penuh kata kata puisi.

Cinta kami adalah dengan memberi bukti, bukan obral janji. Maka ketika cinta ditanyakan, bahkan ketika belum dipertanyakan, bagi kami terdengar sebagai sebuah vonis: engkau belum bisa memberikan yang terbaik untukku!

Itulah kami, para lelaki. Pertanyaan sederhana yang hanya membutuhkan jawaban sederhana: ya atau tidak, menjadi sebuah pertanyaan kompleks yang kental dengan beratus prejudice: Mas tidak cinta kepadaku karena nafkah yang mas berikan sedikit; atau: Mas tidak cinta kepadaku karena banyak permintaanku yang belum Mas penuhi; atau Mas tidak cinta kepadaku karena aku lihat akhir akhir ini sering pulang terlambat... dst.

"Mas harus jawab dulu pertanyaan dik Rani, sebenarnya Mas sayang nggak sama dik Rani?"

Mimiknya mulai serius. Penasaran dengan background pertanyaan itu, aku melunak:

Baiklah, dik! Mas Anto sayang banget sama dik Rani.

Bener?!

Betul!

Terima kasih, mas Anto! Sekilas kulihat rona merah di pipi istri tercintaku.

Suasana menjadi agak hening. Aku menjadi kikuk. Belum pernah aku alami fragmen itu sepanjang pernikahan kami yang sudah menghasilkan dua anak ini. Kayak di sinetron saja, pikirku. Aku termasuk orang yang berpendapat kisah - kisah dalam sinetron adalah kisah di dunia lain.

Dunia nyata harus berbeda dengan dunia sinetron.

"Sekarang gantian mas Anto yang tanya. Mengapa Dik Rani bertanya seperti itu?" Aku memecah keheningan sesaat itu

"Dik Rani bersedia menjawab asalkan Mas Anto janji dulu."

"Janji apa?"

"Janji nggak marah setelah mendengar jawaban dik Rani."

Jiwa kelelakianku kembali terusik. Pasti jawabannya tidak menyenangkan dan pasti mengundang kemarahanku.

Tetapi kali ini, karena rasa penasaranku yang semakin menjadi – jadi, aku bisa mengontrol diri, dan menjawab:

"Mas Anto janji nggak akan marah.".

Tentu saja kata kata itu hanya untuk mempercepat aku memperoleh jawaban dari istriku, mengapa ia bertanya seperti itu.

"Mas, Dik Rani sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengungkapkan hal ini..."

Prolognya mengakselerasi degup jantungku.

"Dalam sebulan ini Dik Rani beberapa kali bermimpi. Dan dalam dua minggu terakhir ini mimpi itu semakin sering hadir dalam tidur Dik Rani.

Dalam mimpi – mimpi itu dik Rani bertemu dengan teman teman laki – laki sekelas dik Rani waktu SD, SMP dan SMA. Orangnya lain – lain, tetapi mimpinya sama, Mas...! "

Rani berhenti bercerita. Matanya mulai berkaca – kaca. Kalimatnya menjadi bergetar di akhir kalimat.

Setelah menyeka air matanya yang mulai mengalir, ia melanjutkan ceritanya.

"Dalam mimpi - mimpi itu selalu saja teman - teman Dik Rani bilang..."

Ia berhenti lagi. Air matanya semakin deras

"Mereka bilang, aku sayang sama kamu, Rani!....". Tangisnya pun pecah mengiringi kalimat terakhirnya itu.

Bagai disambar petir kepala ini. Seluruh darahku terasa naik ke kepala.

Aku marah bukan kepalang. Aku cemburu. Dan sejurus kemudian, aku

menghakimi: Dasar istri tak tahu diuntung! Punya suami baik – baik kayak gini kok malah membayangkan laki – laki lain. Bagaimana tidak? Darimana datangnya mimpi - mimpi itu kalau tidak dari angan angan yang kuat?

Seakan tahu pasti bakal reaksiku, si Rani istriku segera membela diri.

"Tapi, Mas! Demi Allah! Dik Rani tidak pernah mengingat ingat mereka, apalagi membayangkan mereka! Sungguh, Mas! Demi Allah!"

Aku tetap diam menahan marah.

"Lihatlah, Mas! Kalau memang dik Rani membayangkan mereka, tidak mungkin dik Rani bilang ke Mas Anto seperti ini!"

Kalimat terakhir ini sedikit memancing logikaku bekerja, setelah beberapa saat mati total karena seluruh energiku terkuras ke emosiku.

Tetapi kemarahanku sudah terlanjur mencapai puncaknya. Kemarahan memang membuat logika tidak bisa bekerja. Untungnya aku segera tersadar.

Teringat perintah Rasulullah SAW, aku segera mengambil wudhu.

Kemarahanku sedikit mereda. Tapi belum benar – benar padam. Seperti biasa, jika marah aku terdiam dan tidak mau melihat wajah istriku.

Meskipun masih satu ranjang, malam itu kami tidur saling menghadapkan punggung; posisi tidur yang diccela oleh Rasulullah SAW.

Malam itu barangkali adalah malam terburuk sepanjang sejarah pernikahanku dengan Rani, adik angkatan di bangku kuliahku. Seperti layaknya pernikahan para aktifis masjid di kampus, kami diperkenalkan, dan dijodohkan oleh ustadz kami. Pernikahan kami adalah pernikahan gayabaru untuk ukuran masyarakat kami. Kami tidak melewati masa masa pacaran. Begitu diperkenalkan, kemudian ada chemistry di antara kami, tahapan selanjutnya adalah langsung ke jenjang pernikahan. Pesta pernikahan kami pun sederhana. Maklum, kami menikah sebelum kuliah kami selesai. Kami tidak ingin membebani orang tua kami dengan biaya pernikahan yang sangat tinggi, sementara kami belum mandiri secara finansial.

Hari demi hari, bulan demi bulan kami menjalani kehidupan rumah tangga kami. Dua anak pun sudah dikaruniakan kepada kami. Sebelum lulus kuliah, aku bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar terkemuka. Di samping itu aku juga melayani les privat untuk tetangga rumah kontrakanku.

Setelah lulus aku bekerja pada sebuah perusahaan engineering consultant.

Sementara itu Rani sibuk dengan dua jagoan kami yang memang masih membutuhkan ibunya full – time; Rani tidak bekerja. Saya yakin model keluarga kami adalah tipikal keluarga aktifis dakwah kampus.

Hingga kejadian malam itu, aku merasa Allah telah menjadikan keluarga kami menjadi tauladan bagi pasangan muda di komunitas kami. Setidaknya itulah yang pernah kudengar dari beberapa temanku. Aku merasa menjadi laki laki paling bahagia di muka bumi. Kami tampak selalu rukun, tampak harmonis, dan bisa dibilang tidak ada pesoalan rumah tangga yang serius di keluarga kami. Tidak ada persoalan finansial, komunikasi antar pasangan, atau persoalan tidak segera mendapat momongan; tiga persoalan utama yang sering kami temui di keluarga teman - teman kami. Tetapi pengakuan Rani malam itu sungguh membuat aku merasa hancur. Kebahagian yang selama ini aku banggakan ternyata hanyalah kebahagiaan semu. Aku merasa gagal. Keharmonisan keluarga kami yang dilihat orang ternyata nol besar. Aku merasa sedih, karena ternyata aku gagal melihat kenyataan bahkan ketika kenyataan itu adalah kehidupanku sendiri.

"Ustadz, bisa minta waktu sebentar, saya ada persoalan yang ingin saya diskusikan dengan ustadz."

"Persoalan apa?"

"Masalah rumah tangga, ustadz!"

"Mau nikah lagi?"

"Ah, enggak ustadz! Saya sedang ada persoalan dengan Rani."

"Baik, nanti malam ba'da 'isya' insya Allah saya ada di rumah."

"Jazaakallahu khairan, Ustadz!"

"Amiin, walakum."

Ustadz Rahmat adalah salah satu ustadz kami. Di kalangan aktifis, beliau terkenal sebagai ustadz spesialisasi rumah tangga. Beliau menjadi perantara pernikahan hampir semua aktifis. Beliau juga biasa menjadi rujukan teman – teman ketika mendapat persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Pagi itu, setelah acara ta'lim pagi yang biasa diselenggarakan di masjid kampus, saya membuat perjanjian dengan beliau untuk mengkonsultasikan premasalahan yang sedang saya hadapi.

"He he he.... . Anto..., Anto.!" Ustadz Rahmat tersenyum setelah mendengar penuturanku tentang mimpi - mimpi Rani; termasuk juga kecemburuanku dan perasaan kegagalanku.

"Aku tidak mengira, ternyata kau dan Rani yang selama ini tampak harmonis ternyata punya masalah juga. Sebenarnya ini masalah klasik, dan sederhana sekali. Bahkan sudah sering menjadi tema dalam kajian – kajian. Jadi... sekali lagi saya terkejut juga mendengar penuturanmu."

Aku terdiam. Aku mencoba mengingat ingat materi kajian yang pernah kuikuti. Tetapi aku tidak mendapatkan satupun yang relevan dengan kasusku.

"Coba ambil kitab riyadhus-shalihin di rak buku itu!" ustadz Rahmat memintaku mengambil kitab riyadhus shalihin terjemahan bersampul biru di rak buku di belakangku. Tidak sulit aku mendapatkannya. Riyadhus shalihin adalah kitab kumpulan hadits yang biasa kami telaah, baik di pengajian - pengajian rutin maupun bacaan kedua di rumah tangga setelah AlQur'an.

"Bab berapa ustadz?" Seperti biasa, kamilah yang beliau minta membuka dan membaca sendiri ayat atau hadits yang ada di dalam sebuah kitab, ketika beliau ingin mengajari kami sesuatu.

"Coba buka bab keutamaan cinta karena Allah, di jilid I. Kira kira halaman 300-an. Sedemikian seringnya kitab itu dijadikan rujukan, ustadz Rahmat hafal betul letak halamannya."

Dan, terbukalah halaman 317, tertulis judul: Pasal: Keutamaan cinta karena Allah, dan menganjurkan serta memberitahu kepada Allah, dan orang yang dicinta karena Allah, dan jawaban orang yang diberitahu.

"Sudah ketemu?"

"Sudah, Ustadz!"

"Coba kamu baca hadits terakhir dari Pasal itu!"

"Baik, Ustadz!"

Aku balik lembar demi lembar, dan sampailah mataku tertuju hadits nomor 11, hadits terkahir dari Pasal keutamaan cinta karena Allah.

"Anas r.a. berkata: Adaseseorang duduk di sisi Nabi SAW, tiba tiba lewatlah seorang laki – laki, dan berkatalah orang yang duduk di sisi Nabi SAW tersebut: "Wahai Rasulullah, sungguh saya sangat menyayangi orang itu." Nabi SAW bertanya, "Apakah sudah kauberitahu padanya, bahwa kau cinta kasih kepadanya?" Jawabnya: "Belum.". Lantas bersabda Nabi

SAW: "Beritahulah ia!". Maka dikejarnya orang itu dan berkatalah ia kepadanya, "Sungguh, demi Allah, Aku sayang cinta kepadamu!". Maka orang itu menjawab, "Semoga Allah menyayangi dan mencintaimu, sebagaimana kau mencintaiku karena Dia." (HR. Abu Dawud).

Aku terdiam setelah membaca hadits itu. Aku tertegun, seakan akan hadits itu baru saja aku baca. Padahal, secara logika, seharusnya hadits itu seharusnya sudah aku baca dan aku pelajari, sebab sudah dua kali aku mengkhatamkan riyadhus shalihin. Tak terasa, air mata meleleh membasahi pipiku.

"Anto,..." Ustadz Rahmat memecahkan keheningan sesaat itu.

"Berapa kali kau sampaikan kepada istrimu bahwa kau mencintainya karena Allah?"

Aku terdiam. Sejurus kemudian aku menjawab, "Belum pernah, Ustadz!"

"Anto, ketahuilah, wahai saudaraku; manusia tidak bisa membaca kata hati manusia yang lain. Tidak pula dengan malaikat. Hanya Allah dan kitalah yang tahu isi hati kita masing – masing. Karena itulah, Rasulullah mengajarkan kepada kita, kalau kita mencintai seseorang karena Allah, maka sampaikan kepadanya bahwa kita mencintainya. Apalagi dengan istri – istri kita."

"Tetapi, ustadz, tidak cukupkah perbuatan dan kebaikan saya kepada istri saya selama ini menjadi bukti cinta saya kepadanya?"

"He he he... . Seharusnya sudah cukup. Paling tidak menurut pikiranmu.

Tetapi tidak menurut Rasulullah SAW, sebagaimana hadits yang barusan kaubaca. Ingatlah, wahai Anto, Allah menciptakan manusia berbeda – beda.

Jangan kau samaratakan semua orang. Jangan kau anggap semua manusia memiliki nalar dan perasaan seperti yang kau punya. Apalagi wanita, Anto! Mereka adalah makhluk Allah yang penuh misteri. Bahkan Allah swt sampai membuat suratAn-Nisa' di dalam AlQur'an, seakan mengingatkan kepada kita untuk berhati – hati bergaul dengan mereka. Wanita itu, wahai Anto, diciptakan Allah dengan sifat sifat kelembutan dan kasih sayang. Perasaan mereka lebih lembut dan lebih sensitif dibandingkan kita para lelaki. Mereka butuh kasih sayang, dan ungkapan kasih sayang dengan kata kata adalah salah satu kebutuhan dasar mereka. Sesungguhnya kita para lelakipun memiliki kebutuhan dasar itu, namun tidak sekuat kebutuhan para wanita. Tahukah kau apa yang terjadi pada Rani istrimu?

Hatinya gersang akan ungkapan kasih sayang. Ibarat tanah di musim kemarau yang merindukan datangnya hujan, hati rani sudah bertahun tahun tidak pernah disiram dengan kata kata kasih sayang. Seharusnya kau yang menyiram hatinya dengan untaian kata kasih sayang. Namun karena kau egois dan menganggap bahwa kau tidak perlu mengungkapkan perasaanmu, maka orang lainlah yang menyirami hati Rani yang gersang itu. Saya yakin, Rani benar dengan pengakuannya bahwa ia tidak membayangkan kawan – kawan masa lalunya. Mimpi – mimpi itu muncul dari alam bawah sadar Rani yang sudah sedemikian kering dan haus akan siraman ungkapan kasih sayang."

Aku merasa amat bodoh di hadapan ustadz Rahmat. Aku tidak bisa berkata apa – apa.

"Sekarang, pulanglah, mintalah maaf kepada istrimu, dan sampaikan padanya, bahwa demi Allah, kau mencintainya. Insya Allah mimpi – mimpi itu tak kanpernah datang lagi dalam tidur Rani."

Sejenak kemudian aku mohon pamit dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Rahmat. Dan, seperti biasa, ustadz Rahmat melepas kepergianku hingga pintu gerbang pagar rumah beliau, dan selalu dengan senyum khas beliau itu: senyum khas seorang Ustadz Rahmat.

Malam itu barangkali akan menjadi malam terindahku dengan istriku.

Sulit kulukiskan dengan kata – kata, bagaimana malam itu, untuk pertama kalinya setelah hampir limatahun menikah dengannya, aku ucapkan, "Demi Allah, Aku mencintaimu, Rani!" Bagaimana reaksi Rani, bagaimana syahdunya suasana malam itu biarlah menjadi kenangan kami sendiri. Aku tidak kuasa melukiskannya dengan kata – kata, sebab kalimat apapun yang kupilih, tidak bisa menggambarkan indahnya suasana malam itu.

Dan Alhamdulillah, setelah malam itu, Rani tidak lagi dihampiri teman – teman lamanya dalam tidurnya.

Abadikanlah cinta kami dalam ridhaMu, ya Allah!


Oleh : R. Fathoni.
Nilagraha, Mei 2008
Nama – nama dalam tulisan di atas adalah fiktif, namun kisahnya adalah kisah nyata sebagaimana dituturkan pelaku kepada penulis.
Keluarga "Anto dan Rani" sekarang tinggal di sebuah kotadi Jawa Tengah, dan hingga kini dikaruniai 5 orang anak.

0 comments:

Post a Comment